Babi ”Ngepet”, Bipang, dan Komunikasi Perlawanan dari Blambangan

Pendopo Sabha Swagata Blambangan (IG @trulybanyuwangi)


Babi ngepet dan babi panggang menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Keduanya menimbulkan kegaduhan karena adanya kekacauan penyampaian pesan. Namun, di Banyuwangi, babi yang biasa disebut ”celeng” justru sarat dengan makna perjuangan.

Polemik bipang Ambawang berakhir dengan pembelaan tim komunikasi kepresidenan yang bertolak belakang dengan sikap lapang dada dan permohonan maaf Menteri Perdagangan. Sementara kasus babi ngepet di Kampung Bedahan, Depok, Jawa Barat,  berakhir dengan matinya babi hutan atau celeng yang jadi korban fitnah.

Berbeda dengan kedua peristiwa itu, komunikasi dengan membawa karakter babi atau celeng justru berbuah perjuangan masyarakat dalam menjaga kedaulatan Kerajaan Blambangan.

”Celeng iro… kari suwe. Hun ngenteni sampe elek iki.” (Babi hutan kamu! Lama sekali. Aku sudah menunggu sampai jelek). Percakapan yang menyematkan kata celeng terdengar biasa di Banyuwangi. Kadang, seseorang yang kaget juga akan meneriakkan kata ’celeng’ sambil terperanjat. ”Celeng, hun kaget akh….”

Umpatan ’celeng’ merupakan ungkapan keseharian yang sangat familiar terdengar bila kita berkunjung ke Banyuwangi, Jawa Timur. Tak ada yang sakit hati bila dipanggil dengan sebutan ’celeng’.

Penggunaan kata celeng kerap dikombinasikan dengan umpatan lainnya, seperti asu (anjing) dan babi. Tak jarang, ketiganya digunakan serentak untuk mengumpat: ”Asu, babi, celeng!”

Ungkapan ’Asu, babi, celeng’ bagi masyarakat Banyuwangi tidak lagi menjadi umpatan, tetapi bahasa pergaulan antaresama sahabat. Ungkapan ini ternyata memiliki sejarah yang panjang bersama masyarakat Banyuwangi.

Pasukan Jogopati

Penyair dan Budayawan Banyuwangi, Abdullah Fauzi, menyebutkan, ’asu, babi, celeng’ merupakan bagian dari strategi perang para pengikut Jogopati. Pangeran yang juga dikenal dengan nama Mas Rempeg itu merupakan tokoh yang memimpin warga Blambangan melawan VOC.

Fauzi mengisahkan, pada tahun 1771 pasukan Jogopati terlibat perang besar-besaran melawan VOC selama kurang lebih satu minggu. Perang Perlawanan Rakyat Blambangan itu terjadi di Tegal Perangan Songgon. Kini, desa yang menjadi lokasi perang itu diberi nama Desa Parangharjo karena banyak ditemukan parang-parang besar di sana.

Sri Margana dalam bukunya berjudul The Puputan Bayu: War, Disease and Demographic Catastrophe in Blambangan 1771-1773 menyebutkan, Puputan Bayu atau Perang di Tegal Perangan membawa dampak buruk bagi kedua belah pihak. Akibat perang tersebut, penduduk Blambangan hanya tersisa 10 persen dari 80.000 menjadi 8.000 orang. Di sisi lain, VOC harus menghabiskan 8 ton emas untuk biaya perang.

”Setelah perang itu, pasukan Jogopati tersebar di hutan-hutan. Mereka lari menyelamatkan diri sekaligus melakukan perlawan secara bergeriliya,” lanjut Fauzi ketika dihubungi dari Jakarta, Senin (10/5/2021).

Hingga akhirnya, pada 24 Oktober 1774, pusat pemerintahan Blambangan dipindah dari Kutha Lateng ke Banyuwangi. Sebuah istana dibangun (kini menjadi Pendopo Sabha Swagata Blambangan/rumah dinas bupati). Selanjutnya berdiri pula alun-alun (kini Sritanjung), penjara (kini mal pelayanan publik) dan pasar.

Pusat pemerintahan tersebut menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dari segara penjuru. Para prajurit Jogopati pun mulai keluar dari hutan untuk beraktivitas di sana. Mereka ke kota untuk mengamen, menari, dan menanyi dengan upah sejumput beras. Hasil dari mengamen mereka kumpulkan untuk rekan-rekannya di hutan.

”Saat mengamen, mereka membawakan tembang-tembang perjuangan, salah satunya, ’Podo Nonton’. Bagi orang awam, lagu itu hanya hiburan. Namun, bagi sesama prajurit Jogopati, lagu itu punya pesan perjuangan,” tutur Fauzi.

Mendengar ada lagu tersebut, sejumlah prajurit Jogopati mendekat. Sambil tetap menari, mereka bertanya kepada para ’pengamen’: ”Hun celeng, riko sopo? (Aku kelompok celeng, kamu siapa?).”

Selain melalui lagu, sejumlah mantan pejuang yang kini berdagang juga kerap menggambar logo-logo hewan. Fauzi mengatakan, logo-logo tersebut diletakkan di keranjang atau bahkan di barang dagangan.

Tak sedikit para pejuang yang kaget melihat logo-logo tersebut ada di sejumlah barang yang dijual di pasar. Dari logo tersebut, terbangunlah sebuah komunikasi.

”Gambar paran iki? Gambar asu ya? Riko asu? Hun Babi. (Gambar apa ini? Gambar anjing ya? Kamu dari kelompok anjing? Saya dari kelompok babi),”. Kira-kira demikian percakapan para pejuang, yang tentunya diucapkan sambil berbisik.

Percakapan tentang identitas kelompok menjadi pembuka. Selanjutnya mereka akan berbagi informasi untuk mengetahui posisi teman-teman sekelompok. Mereka lantas berkumpul untuk mengatur strategi pemberontakan terhadap VOC.

”Panggilan menggunakan kode ’asu, babi, celeng’ digunakan karena saat itu VOC mendatangkan 300 mata-mata dari luar Banyuwangi. Para mata-mata itu mempunyai tugas untuk mengawasi perlawanan terhadap VOC,” tutur Fauzi.

Hal senada disampaikan budayawan Banyuwangi, Aekanu Hariyono. Sandi ’asu, babi, celeng’ merupakan sandi di antara para pejuang pasukan Jogopati. Saat itu memang tersebar sejumlah mata-mata. Tak sedikit mata-mata itu juga berasal dari warga pribumi.

Tak salah bila gending ”Podho Nonton” dijadikan sarana penyampai pesan agar para prajurit Jogopati tetap waspada. Di dalam liriknya terselip pesan-pesan perjuangan.

”Podo nonton, pudak sempal ring lelurung Ya, pendite pudak sempal, lambeyane para putra Para putra, kejalan ring kedung Lewung Ya, jalang jala sutra, tampange tampang kencana”.

”Lihatlah tanaman pudak bergelimpangan di sepanjang jalan. Sabuk putra-putra Blambangan terlepas. Mereka terjaring di pusaran air. Penjajah banyak merayu mereka agar mereka mau jadi mata-mata VOC untuk mengamati pejuang Blambangan,” tutur Aekanu menginterpretasikan lirik ”Podo Nonton”.

Aekanu mengatakan, melalui syair tersebut, ada pesan yang ingin disampaikan di antara para pejuang. Mereka mengajak warga agar mencintai Blambangan dan jangan sampai terjadi pengkhianatan.

”Bagi masyarakat Blambangan atau Banyuwangi kini, ’Asu, babi, celeng’ bukanlah makian. ’Asu, babi, celeng’ merupakan perlawan,” ujarnya.

Komunikasi

Jadi jangan kaget bila mendengar orang Banyuwangi menyebut rekannya sebagai babi atau celeng. Mereka tidak sedang mengumpat. Mereka sedang berjuang.

Babi ngepet berbentuk celeng sudah menjadi korban fitnah. Babi panggang Ambawang sudah merasakan dampak positif dari buruknya komunikasi publik.

Namun, jangan biarkan ’asu, babi, celeng’ di Banyuwangi dianggap sebagai bentuk komunikasi yang buruk atau komunikasi yang tidak santun. Asu, babi, celeng biarlah tetap menjadi bentuk komunikasi perlawanan masa lalu, kini, dan akan datang.

Bila berkunjung ke Banyuwangi, jangan lupa bertegur sapa dengan ungkapan ’Celeng Iro….’ (Angger Putranto)


 Selengkapnya baca Kompas.id 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bebas bayar, pembayaran mudah dan cepat, transaksi online, pembayaran tagihan dan tiket, transfer dana online
Adbox

@templatesyard