Achmad Jumali (62), warga Desa Gintangan, memiliki keahlian
memijat secara turun temurun dari keluarganya. Tidak tanggung-tanggung, dengan keahliannya ini, kakek lima
cucu ini bisa terbang ke Swedia serta keliling Indonesia untuk memijat
langganannya.
Saat ditemui Kompas.com di rumahnya di Desa
Gintangan, Kecamatan Rogojampi, Kamis (17/11/2016), pria yang akrab dipanggil
Haji Jumali ini menjelaskan, kemampuannya memijat sudah diwariskan secara turun
temurun dari nenek moyangnya, dan Jumali adalah generasi ke lima.
"Sebelumnya kakek saya, bapak dan juga kakak saya yang
paling tua. Tapi mereka sudah meninggal. Di atas masih ada mbah buyut semuanya
ahli memijat," jelasnya.
Setiap hari, minimal ada 50 pasien yang mengunjungi Jumali
di rumahnya. Bahkan, ada tiga kamar yang dikosongkan untuk menginap pasien yang
berasal dari luar kota. Mereka yang datang rata-rata karena keseleo, patah
tulang dan salah urat.
"Mau jam dua pagi mereka datang ya saya bukakan pintu.
Kalau saya capek ya mereka saya suruh istirahat dulu dan pagi baru saya pijat
" ceritanya.
Pasien yang datang ke rumahnya rata-rata berasal dari Bali,
Jember, Situbondo, sampai Surabaya.
Lelaki yang memiliki tiga anak perempuan tersebut mengaku
pernah diajak ke Swedia selama sebulan oleh langganannya pada tahun 2002. Saat
itu, langganannya yang berkewarganegaraan Swedia mengalami keseleo saat surfing di
Bali bersama pasangannya, lalu Jumali dibawa ke Banyuwangi untuk dipijat.
"Alhamdulilah mereka sehat dan sembuh, dan saya diajak
ke Swedia keliling-keliling di sana untuk mijat keluarga dan teman-temannya
dibayar pakai dolar. Tapi saya nggak bisa bahasa Inggris, ada guide-nya,"
katanya sambil tersenyum.
Bukan hanya itu, hampir setiap minggu dia selalu ke luar
kota untuk memijat. Jumali mengaku sudah keliling Indonesia dengan keahliannya
memijat.
"Papua, Kalimantan, Maluku semua sudah. Mereka tahunya
ya dari mulut ke mulut. Tapi sekarang saya kurangi karena sering sakit dan
capek karena faktor usia," jelasnya.
Dibayar seikhlasnya
Walaupun pelanggannya sangat banyak, Jumali mengaku tidak
pernah mematok harga, bahkan beberapa pasiennya tidak membayar karena berasal
dari kalangan tidak mampu. Dia menerima berapa pun bayaran yang diberikan.
Jumali mengaku pernah memijat ke Jember dengan mengendarai
sepeda motor. Pasiennya ternyata dua orang anak yatim piatu yang habis terjatuh
dan tetangganya harus patungan untuk membayarnya.
"Nggak mungkin saya terima. Uangnya saya kembalikan.
Seharusnya saya yang ngasih mereka," katanya.
Walaupun tidak pernah mematok harga, Jumali mengaku
penghasilannya lebih dari cukup untuk kebutuhannya sehari-hari.
"Cukup untuk bangun rumah, naik haji, beli mobil sama
kuliah anak-anak. Kalau kasih tarif mungkin akan berlebihan,
tapi saya nggak mau. Itu sudah pesan dari kakek dan bapak saya. Kemampuan pijat
harus bermanfaat buat orang lain, bukan malah dibuat bisnis," katanya.
Sementara itu Rukmini (59), istri Jumali mengatakan, agar
suaminya bisa beristirahat, keduanya pergi ke Malang mengunjungi rumah salah
satu anaknya. Jika tidak, tamu yang berkunjung untuk pijat tidak pernah berhenti.
"Bapak nggak bisa nolak. Kadang kasihan lihat bapak.
Jadi biasanya saya sama bapak ke Malang untuk berlibur dua atau tiga hari, tapi
saat balik ke Banyuwangi pasiennya sudah banyak yang antre, bahkan
nginep," katanya.
Haji Jumali tidak sendiriam menangani pasien. Dia dibantu
oleh dua asistennya.
"Jika ada yang luka terbuka dan berdarah biasanya sama
bapak disarankan dibawa ke rumah sakit lebih dahulu untuk dijahit,"
jelasnya.
Saat ini, di sekitar rumah haji Jumali ada beberapa tukang
pijat yang merupakan kerabat dari Haji Jumali.
"Ada yang keponakan, saudara tapi kalau pasiennya parah
ya dibawa ke sini karena saya yang paling tua di sini. Ada doa-doa yang dibaca
khusus sebelum pijat. Doanya untuk kaki atau untuk tangan tentu beda, dan itu
diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang. Saya hanya perantara
kesembuhannya, semua dari Tuhan" pungkasnya. (Kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar