
Belasan taruna-taruni lulusan Balai Pendidikan dan Pelatihan
Penerbangan (BP3) Banyuwangi diwisuda dengan Adat Using. Mereka diwisuda di
Sanggar Genjah Arum, Desa Adat Kampung Using Kemiren, Kecamatan Glagah,
Banyuwangi.
Acara dimulai dengan tarian Barong dan disusul dengan musik Othek yang dimainkan oleh tujuh ibu-ibu yang memainkan lesung dan satu orang pria yang memainkan angklung.
"Ini yang pertama di Indonesia wisuda dengan Adat Using. Ini sudah tiga kali diadakan," ujar pemilik Sanggar Genjah Arum, Setiawan Subekti di lokasi, Rabu (27/4/2016).
Usai musik Othek dimainkan masuk ke dalam prosesi ritual. Salah seorang tetua adat, Aekanu Haryono, menjelaskan makna dari Barong. Aekanu menjelaskan bahwa Barong merupakan pengejawantahan dari nenek moyang suku Using.
Acara dimulai dengan tarian Barong dan disusul dengan musik Othek yang dimainkan oleh tujuh ibu-ibu yang memainkan lesung dan satu orang pria yang memainkan angklung.
"Ini yang pertama di Indonesia wisuda dengan Adat Using. Ini sudah tiga kali diadakan," ujar pemilik Sanggar Genjah Arum, Setiawan Subekti di lokasi, Rabu (27/4/2016).
Usai musik Othek dimainkan masuk ke dalam prosesi ritual. Salah seorang tetua adat, Aekanu Haryono, menjelaskan makna dari Barong. Aekanu menjelaskan bahwa Barong merupakan pengejawantahan dari nenek moyang suku Using.
"Barong itu memiliki sayap semoga taruna-taruni bisa
terbang. Barong memiliki Mahkota yang dimiliki raja mudah-mudahan berotak
bijaksana seperti raja," papar Aekanu di hadapan wisudawan-wisudawati.
Dia juga menjelaskan Barong memiliki lima warna kosmologi bahwasanya kosmos bisa seimbang. Masing-masing taruna-taruni kemudian dikucuri air bunga mawar, kenanga dan kantil di dahi mereka oleh sesepuh Using Djohadi Timbul.
Bunga yang digunakan berwarna merah, putih dan hijau yang melambangkan mereka taruna taruni bunga bangsa Indonesia. Diharapkan mereka bukan lagi aset bangsa Indonesia saja tapi juga aset dunia.
"Merah ditujukan kepada ibu dan putih kepada ayah. Pesan kami yang paling Utama sembah kepada orangtua dan sembah kepada guru dan negaranya," imbuhnya.
Usai dikucuri air tiap-tiap taruna kemudian dipasangkan udeng atau ikat kepala. Bagi taruni diberikan selendang untuk kenang-kenangan.
Sementara itu Kepala BP3B Kolonel Laut (P) Deddy Suparli berharap wisuda ini memberikan kesan dan membekas bagi para siswanya.
"Bahwa selain dia mendapat ilmu penerbangan dia merasa diangkat sebagai warga Using. Dengan suatu adat seperti ini, anak-anak ini diterima sebagai warga Using. Menerapkan kearifan lokal," jelas Deddy.
Dia juga menjelaskan Barong memiliki lima warna kosmologi bahwasanya kosmos bisa seimbang. Masing-masing taruna-taruni kemudian dikucuri air bunga mawar, kenanga dan kantil di dahi mereka oleh sesepuh Using Djohadi Timbul.
Bunga yang digunakan berwarna merah, putih dan hijau yang melambangkan mereka taruna taruni bunga bangsa Indonesia. Diharapkan mereka bukan lagi aset bangsa Indonesia saja tapi juga aset dunia.
"Merah ditujukan kepada ibu dan putih kepada ayah. Pesan kami yang paling Utama sembah kepada orangtua dan sembah kepada guru dan negaranya," imbuhnya.
Usai dikucuri air tiap-tiap taruna kemudian dipasangkan udeng atau ikat kepala. Bagi taruni diberikan selendang untuk kenang-kenangan.
Sementara itu Kepala BP3B Kolonel Laut (P) Deddy Suparli berharap wisuda ini memberikan kesan dan membekas bagi para siswanya.
"Bahwa selain dia mendapat ilmu penerbangan dia merasa diangkat sebagai warga Using. Dengan suatu adat seperti ini, anak-anak ini diterima sebagai warga Using. Menerapkan kearifan lokal," jelas Deddy.
"Mungkin daerah-daerah lain nggak ada seperti ini. Dia
menimba ilmu di Banyuwangi dan merasa menjadi bagian dari Banyuwangi,"
pungkasnya.
LULUSAN TERBAIK SEKOLAH PILOT BANYUWANGI
LULUSAN TERBAIK SEKOLAH PILOT BANYUWANGI
Ada 19 taruna dan taruni Balai Pendidikan dan Pelatihan
Penerbangan (BP3) Banyuwangi yang di Wisuda. 11 di antaranya berasal dari Papua
dan delapan orang merupakan Private Pilot License (PPL) dari kepolisian. Salah
satunya adalah Ipda Ari Bengnarly Tandjung (25).
Pria asal Surabaya ini menjadi lulusan dengan peringkat terbaik di antara 8
polisi udara lain yang menempuh pendidikan di BP3B. Dia lulus dengan nilai
rata-rata 83,38.
"Awalnya nggak kepikiran masuk penerbang ngeliat senior-senior kok bangga jadi penerbang. Sebenarnya awalnya pengen tapi banyak omongan-omongan jadi ragu. Akhirnya ya diperintahin sama pak Dir yaudah jalanin tugas," kata Arly usai Wisuda Penerbang Non Diploma Angkatan IV Papua dan Polisi Udara di Banyuwangi, Kamis (28/4/2016).
Anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Soenario Tandjung dan Juliati Pekuatmodjo ini tak menyangka akan mengambil diklat sebagai penerbang. Mulanya dia bercita-cita sebagai insinyur.
"Cita-cita dulu insinyur apa aja. Ambil kuliah teknik elektro karena dari SMA. Masuk polisi itu perwira karier, selesai pendidikan penempatan sesuai jurusan saya ditempatkan di polisi udara," kata pria asal Surabaya ini.
Dia merasa kaget karena bisa diterima di bagian polisi udara. "Ini agak aneh lah elektro jadi polisi terus penerbang. Belum tahu ada polisi udara," jelasnya.
Selama setahun menimba ilmu di BP3 Banyuwangi dia mengaku banyak hal-hal yang membuatnya terkesan. Berkat didikan yang diterimanya dia merasa karakternya menjadi lebih kuat.
"Untuk karakter kita jadi lebih kuat setelah jadi penerbang karena awalnya mental-mental polisi. Sebagai penerbang kita butuh percaya diri yang tinggi, kita harus punya keputusan tepat, waktu juga nggak banyak ambil keputusannya. Bentuk karakter yang awalnya kurang pede bawa pesawat jadi punya karakter pede. Di situ saya belajar bagaimana jadi seorang penerbang. Nggak pernah kebayang," sambungnya.
Salah satu kenangan yang tak bisa dilupakan Arly ketika dia melakukan terbang perdananya. Dia hafal setiap pesan dari salah satu instrukturnya.
"Waktu cek solo sama Kapten Budi (saya) tegang di awal terbang nggak ngerti apa-apa sama dia diajarin, akhirnya ngerti semua diajarin sama dia. Perasaannya nggak boleh kaku, santai tapi tetap memperhatikan semua di sekitar. Sekalinya stres atau panik itu yang bikin fatal," imbuhnya.
Grogi ketika menerbangkan pesawat kerap dialaminya. Namun ketika semua dipasrahkan pada Tuhan dia tidak ragu lagi.
![]() |
Ipda Ari Bengnarly Tanjung (Detik.com) |
"Awalnya nggak kepikiran masuk penerbang ngeliat senior-senior kok bangga jadi penerbang. Sebenarnya awalnya pengen tapi banyak omongan-omongan jadi ragu. Akhirnya ya diperintahin sama pak Dir yaudah jalanin tugas," kata Arly usai Wisuda Penerbang Non Diploma Angkatan IV Papua dan Polisi Udara di Banyuwangi, Kamis (28/4/2016).
Anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Soenario Tandjung dan Juliati Pekuatmodjo ini tak menyangka akan mengambil diklat sebagai penerbang. Mulanya dia bercita-cita sebagai insinyur.
"Cita-cita dulu insinyur apa aja. Ambil kuliah teknik elektro karena dari SMA. Masuk polisi itu perwira karier, selesai pendidikan penempatan sesuai jurusan saya ditempatkan di polisi udara," kata pria asal Surabaya ini.
Dia merasa kaget karena bisa diterima di bagian polisi udara. "Ini agak aneh lah elektro jadi polisi terus penerbang. Belum tahu ada polisi udara," jelasnya.
Selama setahun menimba ilmu di BP3 Banyuwangi dia mengaku banyak hal-hal yang membuatnya terkesan. Berkat didikan yang diterimanya dia merasa karakternya menjadi lebih kuat.
"Untuk karakter kita jadi lebih kuat setelah jadi penerbang karena awalnya mental-mental polisi. Sebagai penerbang kita butuh percaya diri yang tinggi, kita harus punya keputusan tepat, waktu juga nggak banyak ambil keputusannya. Bentuk karakter yang awalnya kurang pede bawa pesawat jadi punya karakter pede. Di situ saya belajar bagaimana jadi seorang penerbang. Nggak pernah kebayang," sambungnya.
Salah satu kenangan yang tak bisa dilupakan Arly ketika dia melakukan terbang perdananya. Dia hafal setiap pesan dari salah satu instrukturnya.
"Waktu cek solo sama Kapten Budi (saya) tegang di awal terbang nggak ngerti apa-apa sama dia diajarin, akhirnya ngerti semua diajarin sama dia. Perasaannya nggak boleh kaku, santai tapi tetap memperhatikan semua di sekitar. Sekalinya stres atau panik itu yang bikin fatal," imbuhnya.
Grogi ketika menerbangkan pesawat kerap dialaminya. Namun ketika semua dipasrahkan pada Tuhan dia tidak ragu lagi.
DARI PSIKOLOG KE
PENERBANG
Restiana Zakinah (19) adalah satu-satunya wanita di angkatan
keempat Program Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Resti lulus dari
Balai Pendidikan dan Pelatihan Penerbangan (BP3) Banyuwangi dengan hasil
terbaik di angkatannya dengan nilai 85,50.
"Awal mula saya bisa sampai di wisuda ini cukup sederhana. Awalnya hanya
coba-coba keberuntungan saya," kata Resti usai Wisuda Penerbang Non
Diploma Angkatan IV Papua dan Polisi Udara di Banyuwangi, Kamis (28/4/2016).
![]() |
Restiana bersama kedua orangtuanya (Detik.com) |
Gadis asal Kaimana Papua Barat ini mengaku beruntung dapat
menyelesaikan setiap tahapan tes dengan lancar. Resti mengaku awalnya tidak
memiliki bayangan menjadi pilot.
"Cita-cita dulu jadi psikolog. Saya tuh waktu SMA pengen di penerbang kaya serem sendiri cuma dicoba aja," kata Resti.
"Cita-cita dulu jadi psikolog. Saya tuh waktu SMA pengen di penerbang kaya serem sendiri cuma dicoba aja," kata Resti.
Tawaran untuk masuk ke sekolah penerbangan diterimanya dari
kedua orangtuanya Anita Ema Bwefar dan Lukman La Ali. Anak kedua dari tiga
bersaudara ini menempuh SMA di Bogor. Lulus SMA dia sudah tes untuk masuk
jurusan psikologi di salah satu universitas swasta di Surabaya.
"2013 saya ikut tes di Jayapura alhamdulilah saya lulus seleksi ke Jakarta. Setelah di Jakarta tes lagi alhamdulilah lagi saya lulus untuk jurusan penerbang. Setelah itu saya jalani pendidikan di Banyuwangi sampai skrang dan akhirnya sampai diwisuda seperti sekarang ini," katanya.
"2013 saya ikut tes di Jayapura alhamdulilah saya lulus seleksi ke Jakarta. Setelah di Jakarta tes lagi alhamdulilah lagi saya lulus untuk jurusan penerbang. Setelah itu saya jalani pendidikan di Banyuwangi sampai skrang dan akhirnya sampai diwisuda seperti sekarang ini," katanya.
Resti tak bisa melupakan kenangannya selama menempuh diklat
2,5 tahun di BP3B. Salah satunya adalah pengalamannya ketika terbang pertama
kali.
"Pas solo pertama kali (rasanya) serem dan seneng campur aduk. Serem karena takut nggak nyampe lagi, serem nggak ada orang di samping beneran sendirian. Sampai ahirnya bisa landing sendiri," ucapnya.
Hari ini, BP3B mewisuda 19 penerbang non diploma angkatan IV Papua dan polisi udara. Ada 11 putra dan putri daerah Papua yang lulus dan 8 orang taruna dari polisi udara. (Detik.com)
"Pas solo pertama kali (rasanya) serem dan seneng campur aduk. Serem karena takut nggak nyampe lagi, serem nggak ada orang di samping beneran sendirian. Sampai ahirnya bisa landing sendiri," ucapnya.
Hari ini, BP3B mewisuda 19 penerbang non diploma angkatan IV Papua dan polisi udara. Ada 11 putra dan putri daerah Papua yang lulus dan 8 orang taruna dari polisi udara. (Detik.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar