![]() |
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas |
Bupati Banyuwangi Terpilih, Abdullah Azwar Anas, menilai,
penerapan Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) sangat relevan untuk
menyelesaikan masalah sosial-ekonomi masyarakat secara komprehensif. IKM yang
dikembangkan dari Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI),
Universitas Oxford, Inggris, kini menjadi salah satu metode pengukuran
kemiskinan yang bisa melengkapi metode yang selama ini telah digunakan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurut Anas, IKM tidak hanya melihat kemiskinan dari
dimensi ekonomi atau pendapatan saja. Lebih jauh dari itu, ada tiga dimensi
lain yang diukur, yaitu dimensi pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup. Di
dalamnya ada berbagai indikator, mulai dari kepemilikan aset, tingkat
pendidikan, akses pendidikan prasekolah, hingga sanitasi.
"IKM saya lihat cukup kompleks, namun relevan dalam
memotret problem daerah, terutama untuk kabupaten yang problemnya relatif lebih
rumit dan kompleks. Jadi IKM ini bisa kita jadikan bekal berbarengan dengan
pengukuran dari BPS. Ini menjadi tantangan bagi kepala daerah untuk lebih giat
lagi, mengingat dimensi pengukuran kemiskinan menjadi semakin luas," ujar
Anas, Kamis (11/2).
Metode IKM di Indonesia sendiri diperkenalkan di Balai
Kartini, Jakarta, kemarin (10/2).
Pengukuran indeks ini didorong oleh lembaga
Perkumpulan Prakarsa di mana modelnya digawangi Oxford Poverty and Human
Development Initiative (OPHI), Universitas Oxford.
Anas yang hadir dalam pengenalan IKM itu mengatakan, data
sangat penting dalam penyusunan program pembangunan. Data yang presisi
menjanjikan program yang tepat sasaran. Untuk menerapkan penghitungan IKM di
Banyuwangi, Anas bakal menggandeng sejumlah pihak sehingga bisa dilakukan
pendataan yang terukur.
"Kemarin, kami diberi kesempatan bertemu teman-teman
peneliti, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan
Kementerian Sosial. Alhamdulillah, mereka dukung Banyuwangi," kata alumnus
program studi singkat ilmu kepemerintahan di Harvard Kennedy School of
Government, Amerika Serikat, tersebut.
Anas menambahkan, kemiskinan memang bukan semata-mata soal
aspek ekonomi saja, tapi berhubungan dengan berbagai dimensi. Dia mencontohkan,
pendapatan per kapita Banyuwangi yang meningkat 62 persen dari Rp20,8 juta
(2010) per orang per tahun menjadi Rp33,6 juta (2014) berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS). Indikator ekonomi tersebut perlu dilengkapi dengan indikator
lain.
"Capaian pendapatan itu kan secara kuantitatif. Saya
kira ini perlu ditelaah aspek kualitatifnya, mulai dari pemerataannya hingga
dimensi lainnya," ujar Anas.
Dengan pendekatan multidimensi, lanjut dia, akan tersaji
informasi yang lebih spesifik, sehingga bisa menciptakan kebijakan yang lebih
relevan dan tepat sasaran.
Anas mencontohkan, di dalam IKM ada dimensi pendidikan,
salah satunya soal pendidikan prasekolah. Ada warga yang mungkin secara ekonomi
sudah mampu, namun tak mengirimkan anaknya ke pendidikan prasekolah karena
berbagai alasan, seperti lokasi yang jauh.
"Informasi spesifik ini bikin arah kebijakan terarah.
Misalnya dengan memanfaatkan Posyandu sekaligus menjadi tempat pendidikan anak
usia dini (PAUD). Saat ini di Banyuwangi baru ada 275 Taman Posyandu yang punya
PAUD. Padahal total ada lebih dari 2.000 Posyandu. Ini ke depan akan kami
tingkatkan karena Posyandu letaknya relatif menyebar, sehingga warga mudah mengaksesnya.
Dengan demikian, makin banyak warga yang mengirim anaknya ke pendidikan
prasekolah," ujar Anas.
Anas mencontohkan lagi, adanya indikator melek huruf dalam
pengukuran kemiskinan multidimensi. Di Banyuwangi, tingkat buta huruf sudah
berhasil ditekan dari 13,34 persen menjadi 2,9 persen. "Gerakan
pemberantasan buta aksara ini akan terus digenjot," ujarnya.
(Beritasatu.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar