![]() |
Gunung Tumpang Pitu (sumber : Intelijen.co.id) |
Kasus tambang di Kabupaten Banyuwangi ternyata menarik minat
peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Melalui Research Centre for Politics and Government
(PolGov), Departemen Politik dan Pemerintahan, peneliti UGM meneliti konflik
tambang di Kabupaten Banyuwangi terus berlanjut.
Hasilnya, disinyalir praktik pengambilan keputusan untuk
menambang (decide to extract) kekayaan alam yang begitu melimpah ini secara de
facto tidak melibatkan peran masyarakat lokal.
Direktur Research Centre for Politics and Government
(PolGov), Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Prof Dr Purwo Santoso MA PhD
mengatakan, keterlibatan masyarakat sendiri dalam aktivitas tambang adalah
sebuah keniscayaan.
Pasalnya, masyarakat lokal merupakan pihak pertama yang
merasakan secara langsung dampak dari aktivitas pertambangan di lingkungannya.
“Rantai nilai itulah yang harus dicermati dalam tata kelola
sumber daya alam,” ujarnya, di Hotel Mercure, Surabaya.
Menurut Purwo, tahapan tata kelola SDA meliputi empat hal.
Yakni, keputusan untuk menambang, mendapatkan mufakat terbaik, mengelola
pendapatan, dan investasi untuk pembangunan berkelanjutan.
Nah, dari keempat tahap tersebut, keputusan untuk menambang
merupakan hal paling krusial. Namun, tahap awal yang meliputi eksplorasi dan
perizinan ternyata juga tidak diperhatikan dengan cermat oleh pemerintah.
"Itulah yang memicu adanya konflik di daerah
pertambangan selama ini," tegas Guru besar Ilmu Politik dan Pemerintahan
Fisipol UGM.
Sebaiknya ada partisipasi masyarakat. Mereka juga harus tahu
manfaat yang akan diperoleh dan risiko yang akan ditanggungnya, dari keberadaan
tambang yang ada di wilayah tempat tinggalnya.
Selain itu, partisipasi masyarakat dengan pengetahuan
lokalnya menjadi salah satu referensi bagi pelaku industri tambang. Sebab,
pengetahuan lokal hidup dalam dan bersama masyarakat hingga terjadi evolusi.
"Segala langkah sebaiknya diambil secara berhati-hati
karena manfaatnya bukan untuk masyarakat saja tetapi juga investor dan
pendatang," katanya.
Para investor dan pendatang ini mengambil dan membawa ke
luar hasil tambang begitu saja.
Sementara risiko dari penambangan tidak dapat dihilangkan, yaitu adanya lubang tambang, limbah, dan lingkungan yang rusak.
Sementara risiko dari penambangan tidak dapat dihilangkan, yaitu adanya lubang tambang, limbah, dan lingkungan yang rusak.
Selebihnya warga lokal di sekitar tambang itu yang
sehari-hari berhubungan dan menanggung semua risiko-risiko tersebut.
“Uang yang diperoleh dari aktivitas penambangan bisa
dipindahkan, tetapi risikonya tidak. Warga lokal menjadi penanggung risiko
terbesar,” imbuh Purwo.
Penelitian terkait pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat
lokal mengenai SDA di Banyuwangi telah dilakukan PolGov UGM pada akhir 2015.
Hasilnya menunjukkan, sesungguhnya masyarakat lokal memiliki pengetahuan akan
pengelolaan sumber daya yang didasari oleh tradisi dan praktik keseharian,
nilai dan norma agama, serta mitos dan kepercayaan.
Pengetahuan lokal tersebut dapat dijadikan salah satu dasar
pertimbangan dalam pengambilan keputusan penerbitan izin eksplorasi dan
eksploitasi di Bumi Blambangan.
Keterlibatan masyarakat lokal dalam proses pengambilan
kebijakan terkait pengelolaan sumber daya juga dinilai dapat menekan potensi
kerusakan dan konflik yang mungkin ditimbulkan. (Tribunnews.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar