Menurut Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Pudjo Hartanto
ada sekitar 10 kelompok tani yang sudah melakukan pembesaran sidat di
Banyuwangi.
"Produksinya per tahun sekitar 10 ton per bulan dengan
kualitas ekspor. Sidat banyak digunakan sebagai bahan makanan di
restoran-restoran Jepang dengan harga yang cukup mahal," kata Pudjo, Senin
(20/1/2013).
Pudjo menjelaskan, masih belum ada teknologi yang bisa
menghasilkan bibit Sidat karena ikan yang berbentuk seperti ular tersebut
mempunyai siklus hidup yang unik. "Untuk bibit masih tergantung pada
tangkapan alam, karena Sidat betelur di wilayah laut dan besar di air
tawar," jelasnya.
Sementara itu, Daniel Amrullah (50) salah satu pembudidaya
Sidat di wilayah Desa Parijatah Kulon, Kecamatan Srono, menjelaskan, selama ini
ia mendapatkan bibit Sidat masih dari luar Banyuwangi.
"Biasanya saya pesan bibit dari Mentawai, Cilacap,
Pelabuhan Ratu, dan Lampung. Jangankan di Banyuwangi, di Jepang sendiri masih
belum ada ilmu tekhnologi untuk pembibitan Sidat. Di sini saya hanya melakukan
pembesaran," jelasnya.
Menurut Daniel, dia menggunakan bibit dengan ukuran
'finger" dengan isi per kilo sekitar 5.000 sampai 7.000 ekor, "1 kilogram
ukuran finger dalam waktu 8 bulan akan menghasilkan kurang lebih 1,25 ton sidat
dengan harga jual sekitar Rp 150.000 per kilogram. Kenapa 8 bulan? karena di
usia tersebut ukuran sidat antara 3 ons sampai 6 ons dan siap dikonsumsi,"
ungkapnya.
"Tapi Sidat juga mempunyai golden size antara 2,5 ons
hingga 3,5 ons, ukuran itu yang sering di cari restoran-restoran Jepang sebagai
bahan Unagi. Tapi kalau dibiarkan Sidat bisa besar sampai ukuran 3 meter
bentuknya seperti ular," sambungnya.
Sidat yang dibudidayakan oleh Daniel banyak di jual ke
Bandung, Jakarta, Surabaya dan Bali. "Ada juga yang di ekspor, tapi untuk
memenuhi permintaan dalam negeri saja sudah kewalahan. Jadi berapa pun
banyaknya Sidat selalu laku jadi enggak pernah khawatir susah penjualannya.
Banyak pembeli yang langsung datang ke sini," kata dia.
Sedangkan untuk tempat pembesaran, Daniel memanfaatkan
sungai yang di alirkan ke kolam-kolam kecil di belakang rumahnya. "Air
untuk Sidat harus mengalir, agar sidatnya bergerak dan banyak makan, karena
kalo airnya diam maka Sidat akan malas makan, dan sisa pakan yang tidak
termakan akan menghasilkan racun untuk sidat," kata Daniel lagi.
Daniel mengaku untuk bahan pakan dia melakukan riset sendiri
dengan mencampur tepung ikan, dedak halus, tepung jagung, tapioka, dan rumput
laut hingga berbentuk seperti pasta. "Normalnya makanan yang diberikan
lima persen dari berat Sidat, tapi sengaja saya tambah menjadi 7,5 persen agar
cepat panen tapi tentu dengan memperkuat aliran sungai, karena sidat akan bergerak
lebih cepat," tandas Daniel.
Daniel memprediksi budidaya Sidat di Banyuwangi akan terusberkembang pesat karena Sidat menjadi salah satu hidangan utama yang terpopuler
di Jepang. "Selain Unagi ada juga Unadon, sidat bakar yang disajikan di
atas nasi. Sedangkan Sidat sendiri di Jepang sudah menjadi ikan langka dan
hanya 30 persen sidat dari Jepang sendiri yang digunakan sisanya yang ekspor
salah satunya dari wilayah Banyuwangi," cetus Daniel.
Kompas.com
permisi, mohon infonya untuk nomor kontak bala-balai perikanan. terima kasih
BalasHapusBalai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Banyuwangi
HapusAlamat: JL. Raya Situbondo, Km. 17, Desa Bangsring Tromol Pos. 8, 68402, Kec. Banyuwangi
Telepon:(0333) 510525