Budidaya Sidat di Banyuwangi terbilang masih baru dibanding
daerah lain. Namun trend budidaya sidat di bumi Blambangan dalam kurun waktu 3
tahun terakhir mulai menampakkan geliatnya.
Pembudidaya Sidat di Banyuwangi banyak bermunculan seiring permintaan pasar yang semakin moncer. Ikan sidat sejenis belut akan tetapi lebih panjang dan besar. Budidaya ini menjanjikan keuntungan lebih besar sebab harga perkilogram mencapai ratusan ribu rupiah.
Pembudidaya Sidat di Banyuwangi banyak bermunculan seiring permintaan pasar yang semakin moncer. Ikan sidat sejenis belut akan tetapi lebih panjang dan besar. Budidaya ini menjanjikan keuntungan lebih besar sebab harga perkilogram mencapai ratusan ribu rupiah.
Tidak jauh berbeda dengan budi daya ikan lele atau nila,
ikan sidat juga memerlukan sirkulasi air yang baik. Hanya saja jumlah air tidak
boleh terlalu banyak. Dan satu lagi, ikan sidat suka bersembunyi, makanya
diperlukan eceng gondok dan tempat yang berlumut.
Saat ini saja pembudidaya Sidat di Banyuwangi sendiri
tersebar di 13 dari 23 Kecamatan di Banyuwangi. Diantaranya di Kecamatan
Songgon, Sempu, Srono, Rogojampi, Singojuruh, Cluring, Purwoharjo, Gambiran,
Tegalsari, Bangorejo, Genteng, Muncar dan Kabat. Dan diprediksi penyebaran
pembudidaya Sidat di Banyuwangi semakin meluas.
"Indikasinya banyak pembudidaya baru (pemula) yang
bermunculan di wilayah (Kecamatan.red) lain, meski skalanya masih kecil,"
ujar Sekretaris Asosiasi Sidat (Asidat) Banyuwangi, Heri Prasetiawan, Kamis (19/9/2013).
Sebelumnya, lanjut Heri, pembudidaya Sidat di Banyuwangi
hanya di Kecamatan Singojuruh dan Kecamatan Muncar. Rata-rata, pembudidaya di
Banyuwangi hanya melakukan pembesaran dan jual beli benih sidat. Karena dua
potensi itu memiliki nilai ekonomi yang tinggi seiring tingkat konsumsi Sidat
yang semakin baik pula.
Semisal untuk pembesaran saja, pembudidaya mengaku kewalahan
memenuhi permintaan konsumsi lokal. Belum lagi permintaan dari luar daerah,
seperti Bali, Surabaya serta Jakarta. Bahkan terpaksa harus realistis
"menolak" tawaran kontrak kerjasama dengan beberapa restoran makanan
Jepang dan Korea yang kebutuhan Sidatnya mencapai 1 ton per bulan.
"Kita belum berani terima kontraknya, karena memang
belum mampu mencukupi permintaan," ujar Danil, pembudidaya Sidat asal Desa
Parijatah Kulon, Kecamatan Srono.
Sementara, permintaan benih Sidat (glass eel, p1, pensil,
finger) juga mulai meningkat seiring bermunculan pembudidaya baru. Dimana,
rata-rata tiap harinya ada 2 orang pembudidaya baru atau pembudidaya ikan tawar
yang beralih ke budidaya sidat.
Dari 15 jenis sidat yang ada, masih kata Danil, yang umum
dibutuhkan pasar Indonesia, adalah jenis Bicolor. Jenis Bicolor ini memiliki
tipical paling mirip dengan sidat jepang. Durinya sedikit, tekstur daging dan
tubuh serta rasa hampir mirip dengan sidat jepang.
"Kalau jenis Marmorata durinya cenderung banyak,
rasanya juga berbeda," urainya.
Danil memprediksi, jika trend budidaya Sidat di Banyuwangi
terus menunjukkan progress yang baik. Bukan tidak mungkin, ke depan Banyuwangi
akan menjadi daerah penyuplai Sidat di Jawa Timur. Keuntungan dari bisnis ini
disebut bisa mencapai antara 100 hingga 400 persen.
Namun ada beberapa kendala yang hingga kini terus dicarikan
solusinya dengan melakukan riset internal. Semisal dengan membuat standar
operasional (SOP) budidaya Sidat untuk kalangan sendiri. Mulai dari pola
perlakuan, hingga persoalan pakan dengan kandungan nutrisi yang tepat.
"Sejauh ini SOp yang kita terapkan berdasarkan kajian
kita sendiri. Mulai dari kolamnya bagaimana, pakan yang baik apa ya kita buat
sendiri dari riset yang kita lakukan," ujar pria berkumis tipis ini.
Dia menjelaskan, pakan Sidat di Banyuwangi kebanyakan diolah
sendiri oleh pembudidaya. Sentrat yang dikeluarkan industri, kandungan protein
paling tinggi 30 persen. Daniel memberi makanan ikan jenis voer atau pelet,
cacing. Dan dalam waktu delapan bulan sudah bisa panen.
Di sisi lain Sidat membutuhkan pakan dengan kandungan
protein sekitar 50 persen. Solusinya, petani mengkombinasi pakan pabrikan
dengan pakan dari alam. Semisal mencampur sentrat dengan kepala udang dan
sumber protein hewani lainnya.
"Membuat pakan sendiri bisa memangkas biaya
produksi," tandasnya.
Memang ada kendala dalam budidaya sidat ini, yaitu pengadaan
bibit ikan sidat yang tergolong sulit didapatkan. Selain itu, harganya juga
mahal, yakni 250 ribu rupiah perkilogram.
sumber : detik.com, indosiar.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar