Matahari terasa terik siang itu. Warna putih screen house-jaring pelindung tanaman dari serangan hama-terasa sedikit silau di mata karena pantulkan sinar matahari. Di dalam tempat pembenihan yang luasnya sekitar seperempat hektar itu terdapat deretan tanaman cabai merah yang sudah berbunga.
Beberapa perempuan mengenakan topi tani (caping) terlihat sibuk beraktivitas. Menusukkan bilah bambu yang ujungnya terdapat potongan selang sekitar 5 cm ke satu bunga cabai ke bunga lainnya. Di dalam selang itu berisi serbuk bunga jantan berwarna kecoklatan.
Ya, mereka inilah para 'penghulu' tanaman. Mereka bertugas mengawinkan bunga cabai atau tomat secara telaten. Dari bunga satu ke bunga lainnya, hingga semua bunga betina dipastikan secara "sah" mendapatkan pasangannya.
"Serbuk sari bunga jantan kita kawinkan ke bunga betina satu per satu," ujar Hartati, salah seorang polinator.
Proses polinasi atau pengawinan bunga adalah bagian penting mencapai keberhasilan sebuah perbenihan. Diperlukan ketelitian dan kecermatan dalam prosesnya. Dengan alasan itulah kenapa tenaga polinator dipilih dari kaum wanita.
Tidak hanya teliti dan cermat. Namun pada kenyataannya para wanita hebat ini harus memiliki stamina yang kuat. Selama bekerja mereka harus berdiri berjam-jam lamanya. Berpindah pelan dari satu baris tanaman ke baris lainnya hingga selesai.
Bisa dibayangkan, bila (asumsi) satu tanaman cabai rata-rata memiliki 10 bunga. Dan anggap pula di dalam satu pembenihan terdapat 100 tanaman yang ditangani seorang polinator. Maka 1.000 bunga yang besarnya tak lebih dari ujung jari manis orang dewasa yang harus diselesaikan.
Rata-rata polinator menghabiskan waktu di lokasi pembenihan sehari penuh. Mulai bekerja pukul 06.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Diawali dengan mengumpulkan bunga jantan sebanyak-banyaknya. Bunga jantan ini selanjutnya diproses di oven untuk diambil serbuk sarinya.
"Selanjutnya menunggu embun hilang untuk mulai mengawinkan bunga," tambahnya.
Lantas berapa upah yang mereka terima untuk jasanya? Rupaya, meski polinator memiliki peran penting dalam pembenihan. Tenaga mereka dibayar sangat murah. Hanya Rp 3 ribu perjamnya. Jika 10 jam bekerja, maka uang yang dikantongi setelah berjam-jam berdiri hanya Rp 30 ribu.
Tentu saja nilai itu dirasa belum sebanding dengan harga kebutuhan hidup saat ini. Belum lagi risiko kesehatan yang tidak disadari oleh mereka yakni mencium aroma pestisida selama berada di pembenihan. Jika berlangsung dalam waktu lama, dimungkinkan mengancam saluran pernafasan.
"Kalau bisa sih dinaikkan, dari Rp 3 ribu jadi Rp 5 ribu," harap Sunarti, polinator lainnya ditemui di lokasi yang sama.
Sementara Kepala Bidang Holtikultura Dinas Pertanian Kehutanan dan Perkebunan (Dipertahutbun) Banyuwangi, Syaifullah mengatakan, polinator adalah tenaga kerja yang berperan penting menentukan keberhasilan perbenihan. Selayaknya mereka mendapatkan perhatian lebih dari pihak yang menaunginya.
"Sering kali jika saya kesana, ibu-ibu polinator itu meminta ada kenaikan honor menjadi Rp 5 ribu/jam," ungkapnya ditemui di kantornya.
Padahal dari data Dipertahutbun, budidaya perbenihan cabai dan tomat memiliki keuntungan yang besar. Bahkan keuntungannya 3 kali lipat dibandingkan jika bertanam cabai untuk diambil buah segar. Terlebih, perbenihan di Dusun Krajan Desa Jambewangi itu didukung oleh perusahaan besar yang bergerak dibidang perbenihan.
"Petani jalin kerjasama dengan PT East West Seed, tapi perusahaan itu selama ini tidak pernah ada semacam CSR kepada masyarakat," tandas Saiful.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar