Maharta bersama dua anaknya membeli 10 takjil
sekaligus di lapak milik Lilis Suheni, pada Sabtu sore, 13 Juli 2013 lalu. Ada
berbagai jenis hidangan takjil yang dia pilih, mulai es buah, kudapan, hingga
masakan tradisional. "Cuma setahun sekali begini," kata pegawai
negeri sipil itu.
Hari itu pertama kalinya Maharta membeli takjil
karena istrinya libur memasak. Dia pun memilih pasar takjil tradisional di
Jalan Brigjen Katamso, setelah mengetahui keberadaan pasar itu dari kawan-kawan
sekantornya. Begitu melihat takjil tradisional yang dijual pedagang, dia pun
kalap membeli dalam jumlah banyak. "Sepertinya enak semua," kata dia.
Lilis Suheni, si pedagang takjil, langsung
sumringah dagangannya laku. Setelah kedatangan Maharta, pembeli lainnya terus
mengalir. Dagangannya sudah hampir ludes, padahal masih setengah empat sore.
"Kalau cuaca cerah begini, dagangan laris," kata perempuan 35 tahun
ini.
Pasar takjil tradisional tersebut sebenarnya
muncul dadakan. Sekitar 20 pedagang berjualan dalam empat tahun terakhir.
Sebelumnya mereka berjualan di depan makam Taman Pahlawan, Jalan Ahmad Yani.
Namun tahun ini, Satuan Polisi Pamong Praja memindahkan aktivitas mereka di
Jalan Brigjen Katamso atau utara kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Banyuwangi, Jawa Timur.
Di kanan-kiri jalan, pedagang menggelar lapak
sederhana dari meja-meja kayu. Payung besar berwarna-warni menangungi di
atasnya. Takjil yang dijual sebagian besar olahan tradisional khas Banyuwangi
seperti pethulo, serabi, jenang grendhul, dan kopyor roti. Tak hanya itu,
masakan tradisional juga digeber. Ada semanggi, pakis, sayur koro pedas, pincuk
onthong dan sebagainya.
Bila ingin takjil yang segar, bisa memiih es buah,
es blewah, kelapa muda, es manado dan rujak. Makanan dan minuman itu
ditempatkan dalam gelas dan mika plastik transparan. Seluruh takjil dan makanan
dibanderol dengan harga miring yakni Rp 3.000 sampai Rp 10 ribu.
Lilis Suheni mengatakan, dia berjualan takjil
untuk mencari penghasilan tambahan menjelang Lebaran. Keuntungannya lumayan,
bisa mencapai hampir Rp 3 juta sebulan. Penghasilan ini cukup menggiurkan.
Pasalnya, selama ini ia dan suami hanya bekerja serabutan. "Penghasilan
tetap kami tak tentu," kata warga Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri ini.
Beberapa jenis takjil dagangannya ia beli dari
orang lain seperti pethulo, serabi, jenang grendhul, kopyor roti serta aneka es
buah. Setiap pukul dua siang, pemasok takjil-takjil itu mengantarnya langsung
ke lapak Lilis. Dari pemasok harga takjil Rp 2.500 kemudian dia jual seharga Rp
3.000.
Perempuan dua anak ini hanya mengolah beberapa
jenis masakan seperti semanggi, pakis, dan pincuk ontong. Bahan baku ketiga makanan
ini biasanya dicari sendiri di ladang dan sawah.
Bila cuaca sedang bagus, 200 takjil yang
dijajakannya akan habis dalam dua jam. "Hambatannya hanya hujan. Kalau
hujan pasti tak laku," kata dia.
JENANG
GRENDUL YANG LEGIT
Beda dengan Lilis, Wiwik Sungkono, pedagang takjil
lainnya, hanya menjual jenang grendul dan jenang biji salak seharga Rp 3.000
per gelas. Kedua jenis takjil ini dibuatnya sendiri. Menurut Wiwik, setiap hari
150 gelas takjilnya habis terjual. "Penghasilan saya Rp 150 ribu
sehari," kata dia.
Di daerah lain, grendul juga dikenal, tapi di
Banyuwangi, grendul hanya muncul saat bulan Ramadan saja. "Di luar bulan
puasa tidak ada yang jual," kata perempuan yang memiliki usaha kuliner
rumahan ini, Selasa, 16 Juli 2013.
Wiwit membuka lapaknya di pasar takjil tradisional
yang terletak di Jalan Brigjen Katamso atau sebelah utara gedung Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Banyuwangi. Jenang grendul dijual hampir seluruh
pedagang di pasar itu. Namun, jenang milik Wiwit lebih istimewa. Selain rasanya
lebih enak, tampilannya juga lebih cokelat dan kental.
Disebut jenang grendul karena terdapat
bulatan-bulatan yang teksturnya kenyal. Bahan utama jenang ini terbuat dari
tepung ketan. Menurut Wiwit, cara membuat jenang ini cukup mudah. Mula-mula
tepung diberi air secukupnya kemudian digulung menjadi bulatan-bulatan kecil.
Setelah itu, bulatan-bulatan ketan dimasukkan ke
dalam gula merah yang lebih dulu dicairkan. Adonan ini dipanaskan lagi hingga
mendidih dan kental. Cara mengkonsumsinya, jenang disiram dengan santan.
Setiap hari, Wiwit mengolah lima kilogram tepung
ketan. Adonan ini menjadi seratus gelas jenang. Takjil ini ternyata cukup
digemari pembeli dan selalu ludes terjual. Harganya cukup murah, hanya Rp 3.000
per gelas. "Lumayan hasilnya untuk Lebaran," kata dia.
Budiyanto, salah satu pembeli jenang grendul, mengatakan
suka menyantap makanan ini untuk berbuka puasa. Selain rasanya yang legit,
jenang grendul juga mengenyangkan. "Apalagi cuma ada setahun sekali,"
kata dia.
Pasar takjil dadakan ini tak pernah sepi
pengunjung. Setiap sore, puluhan orang berbondong-bondong memadati setiap lapak
pedagang. Saking padatnya, jalanannya pun ikut macet. Pasar ini buka setiap
hari pada pukul 14.00 hingga 18.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar