Pohon beringin ditanam khususnya di lingkungan pusat-pusat
pemerintahan, entah itu keraton maupun pendapa-pendapa kabupaten, sebagai
lambang pengayoman. Nilai-nilai yang bernuansa kepercayaan tersebut diyakini
sejak berabad-abad lamanya. Dan di mana pohon beringin tumbuh, konon, di situ
pula makhluk-makhluk halus bertempat tinggal. Mungkin karena hal itu pulalah
Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari enggan menempati pendapa Sabha Swagata
Blambangan.
Mengupas masalah pohon beringin, diakui oleh banyak orang
memanglah angker. Kalau cabang-cabang pohon itu sudah besar, harus segera
di-tutuh (baca: dipotong). Sedang untuk me-nutuh-nya “konon” tidak boleh
sembarangan, karena sebelum di-tutuh harus mengundang “orang tua” terlebih
dahulu untuk melek selama tiga malam. Setelah itu baru bisa me-nutuh cabang
mana yang ditunjuk “orang tua” tadi.
Menurut Mbah Wasi Jaladara, warga Lingkungan Karangbaru
Kelurahan Kepatihan Kec. Banyuwangi yang hidup di tiga jaman menceritakan,
pohon beringin yang berdiri kokoh di timur pendapa Sabha Swagata Blambangan,
Banyuwangi, itu ditanam pada awal 1940-an. Tak heran jika pendapa tersebut
menyimpan banyak misteri.
“Saya masih ingat betul, beringin itu ditanam menjelang
Jepang memasuki Indonesia. Selain itu, di alun-alun sebelah kulon (sekarang
Taman dan parkiran Sritanjang, red.) ada dua pohon beringin. Satu di tengah
lapangan, dan yang satu lagi di depan penjara (bekas kantor Mapolres yang
sekarang dibangun mall Banyuwangi, red.) fungsinya untuk menggantung orang,”
kisahnya kepada Dhuta Ekspresi sembari menerawang.
Sedangkan beringin di timur pendapa memang masih tegar
berdiri dengan rimbunnya. Menurutnya, informasi yang diperoleh dari para
Sepanjuang sejarah, jarang Bupati Banyuwangi yang berani
menempati pendopo ini sebagai rumah dinas. Alasannya karena angker dipenuhi
dengan mahluk halus
Sepanjuang sejarah, jarang Bupati Banyuwangi yang berani
menempati pendopo ini sebagai rumah dinas. Alasannya karena angker dipenuhi
dengan mahluk halus
abdi pendapa, beringin itu tak ubahnya sebagai keratonnya
dedemit. “Ya, karena dihuni oleh para lelembut yang berada di lingkungan
pendapa,” jelasnya.
Begitupun mantan penjaga pendapa, Abdullah menuturkan,
semasa Bupati Banyuwangi dijabat Joko Safaat Selamet (alm), dia beserta
keluarganya tidak mau menempati pendapa sebagai rumah dinasnya. Mereka lebih
suka tinggal di jalan Agung Suprapto, rumah pribadinya.
“Alasannya, katanya sih takut. Karena pernah saat pertama
dinas dan keluarganya menempati rumah dinas (pendapa Sabha Swagata Blambangan,
red.) sering menjumpai hal-hal yang aneh. Sampai-sampai, pernah mengundang para
tokoh ulama Banyuwangi. Antara lain, Pak Kiai Harun (alm) dan Pak Kiai Syafi’i
(alm) beserta santrinya untuk mengaji surat Yasin dan Al-Jin selama 40 hari …
Jum’at,” ungkap Abdullah.
Abdullah mengaku saat awal-awalnya bekerja di pendapa juga
pernah mengalami sendiri. Ia mendapat informasi dari orang yang berpengalaman
bahwa pendapa itu memanglah angker, khususnya pohon beringin di timurnya. Atas
dasar informasi itu, Abdullah sengaja melek pada malam Jum’at. Dirinya duduk di
kursi depan kantor Sepri Bupati Banyuwangi sambil menghadap ke selatan, persis
berhadapan dengan pohon beringin.
“Kurang lebih pada pukul dua belas malam, saya di antara
sadar dan tidak. Wong saya tidak tidur kok. Tapi tiba-tiba saya melihat pohon
beringin itu seperti keraton yang megah. Lalu ada beberapa prajurit turun dari
undak-undakan keraton sambil membawa tameng dan tombak. Prajurit itu tubuhnya
kekar-kekar, rambutnya disanggul ke atas,” kenangnya berusaha meyakinkan.
Sedangkan Katimin, operator pendopo didampingi Siswanto dan
Santoso bercerita banyak tentang keangkeran pendapa dan lingkungannya. Bahkan
katanya pula ada banyak hal aneh yang pernah dan kerap dijumpai dia dan
teman-temannya.
“Pernah ketika saya tidur di museum, peti wayang kulit
seperti ada yang notoki. Iramanya persis dalang sedang totok-totok peti. Dan
teman saya, Sukirno, tidur di emperan museum dipindah ke kolam depan museum.
Dia terbangun karena tiba-tiba dia tidak bisa ambekan (bernafas, red.). Gimana
bisa ambekan la wong di dasar kolam airnya penuh. Begitu bangun dia
mengamuk-ngamuk, dikira teman-teman yang njegurkan (menceburkan, red.),” kenang
Katimin.
Dirinya bersama Parto, juga pernah menjumpai perempuan
cantik seperti bidadari, berdiri di depan tugu garuda. Begitu didekati, tinggal
kedip sesaat saja perempuan cantik tadi hilang. Tapi tiba-tiba muncul lagi
berdiri di depan museum. Didekati lagi, begitu dekat, perempuan yang belum
dikenal itu hilang lagi. Dan begitu seterusnya.
“Anehnya, dia (perempuan cantik) muncul lagi di selatan
masjid Baiturrahman barat pendapa itu. Akhirnya saya bersama Pak Parto tidak
lagi mendekati. Karena takut sekali, ya hanya bisa bengong memandang. Perempuan
itu akhirnya berjalan ke utara,” ucapnya sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.
Lain halnya yang dialami Drs. Nafid Ashar, Direktur Luckey
Monteur. Ketika dia masih sekolah di MAN Banyuwangi, pada awal 1980-an dirinya
dapat tugas menjadi anggota Paskibraka. Seperti biasanya pada malam 17 Agustus
ada upacara pengukuhan di pendopo kabupaten.
“Saat usai acara itu saya bersama teman-teman yang lain
duduk-duduk santai menghadap ke pohon beringin timur pendopo. Ealah, apa saya
salah lihat ya? Di tengah pohon beringin itu, di pangkal-pangkal cabang
beringin ada ular besar, sebesar paha orang dewasa. Bergerak-gerak, badannya
bersisik kotak-kotak. Hanya saja kepala dan ekornya tidak kelihatan.
Teman-teman saya tanya, katanya tidak melihat apa-apa. Jadi hanya saya yang
di-katoni (diperlihatkan, red.),” ungkap Nafid di kediamannya.
hehehe cerito iki mulai cilik isun wis diceritani ambi embah , ono benere lha isun dewek wong temenggungan kancane santoso ........ cilikane nisun ...... isun sak kancanan paling demen oenekan nong weringin wetan iku. Salam wartosawir.blogspot
BalasHapus