Jujur sun akoni ati ingsun seng lilo/ jujur sun
akoni welas iki yo mung kanggo riko…// (jujur ku akui hatiku tak rela/ jujur ku
akui sayang ini hanya untuk dirimu…) //
Penggalan lagu cinta berjudul ”Sun Akoni” itu
mengalun ceria. Penyanyi aslinya adalah Demi Ganden. Namun, pada Sabtu (2/3),
Dewa Arya (25) menyanyikan lagu itu layaknya seorang artis betulan.
Pemuda itu berkaraoke di Sinar FM, stasiun radio
komunitas di Desa Pengantigan, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa
Timur. Siarannya bisa didengar hingga radius 5 kilometer. Pendengar radio pun
heboh. Arimbi, sang disc jockey radio komunitas Sinar FM, kebanjiran pesan
singkat (SMS) yang isinya meminta lagu itu dinyanyikan ulang.
”Ayo Mas, diputer maneh tembange... marai kelingan
sing lawas yoo... (Ayo Mas, diputar lagi lagunya... bikin ingat yang lama,
ya),” ujarnya.
Di perkampungan, lagu itu pun ditirukan Ardi (33),
penjual rujak soto di Rogojampi, Banyuwangi. Suaranya yang mengalun membawakan
lagu banyuwangian itu dalam nada yang mendayu-dayu. Di lapak-lapak penjual CD,
lagu yang dinyanyikan Demi itu pun diputar berkali-kali tanpa henti.
Selain ”Sun Akoni”, lagu lain yang sedang melejit
adalah ”Layang Sworo” yang dinyanyikan artis lokal Ratna Antika. Lagu ini juga
dibuat dalam beberapa versi musik, mulai dari slow, tradisional, hingga koplo,
tetapi tetap dengan bahasa Using (banyuwangian) dan Jawa.
Tidak hanya di radio komunitas, radio komersial-profesional
pun ikut keranjingan lagu banyuwangian. Sebut, misalnya, radio Blambangan FM.
Radio ini punya blocking time khusus untuk tembang banyuwangian, mulai dari
musik banyuwangian terbaru hingga klasik seperti kendang kempul atau patrol.
Bagi warga Banyuwangi, lagu banyuwangian memang
menarik karena lebih asyik dan lebih sering cocok mengena di hati seperti
perkataan kisah sehari-hari. Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Jember Ayu
Sutarto mengatakan, lagu banyuwangian merupakan cermin semangat identitas warga
Banyuwangi.
”Sejak dulu masyarakat Banyuwangi merasa bukan
Bali atau Jawa. Maka, identitas Using ini ditonjolkan dan akan terus bertahan,”
kata Ayu.
Musik banyuwangian memang menjadi tuan rumah di
tempat sendiri. Daerah ini tak pernah sepi dari karya seni musik. Andang CY,
seniman sekaligus pencipta lagu, mengatakan, awalnya musik banyuwangian berasal
dari alat tradisional seperti gamelan, angklung bambu, hingga patrol, atau
musik klotekan dalam istilah Jawa. ”Dulu orang membawa alat musik bambu saat
jaga keliling kampung. Mereka memainkan dengan harmoni, dan muncullah tradisi
patrol sampai saat ini,” kata Andang.
Musik angklung pun terdorong dari budaya agraris
masyarakat Banyuwangi. Purwadi (50) atau Mang Pur, sesepuh desa adat Using
Kemiren di Banyuwangi, mengatakan, masyarakat Using punya kebiasaan bermain
angklung paglak untuk mengusir lelah seusai bekerja di sawah. Mereka bermain
rumah bambu di atas pohon sambil menikmati semilir angin dan memandang hamparan
sawah. ”Banyuwangi merupakan daerah subur. Tidak perlu susah mengolah tanah.
Jadi, waktu tak banyak tersita untuk bekerja. Petani pun ada waktu luang untuk
bermusik. Dari situlah karya kesenian itu tumbuh,” katanya.
Saat masih remaja, Mang Pur aktif memainkan
angklung paglak di sela bertani. Kepiawaiannya memainkan angklung kemudian
membuat dia sering dipanggil warga yang punya hajatan. Biasanya, jika ada pesta
perkawinan atau pesta panen, Mang Pur tampil menghibur warga di atas panggung
bersama rekan-rekannya. Kini Mang Pur tidak lagi manggung, tergantikan oleh
mereka yang lebih muda, tetapi ia tetap aktif mengajari anak-anak di Desa
Kemiren bermain angklung.
Pada awal 1980-an, musik banyuwangian yang dulu
dimainkan para petani ini berkembang menjadi kendang kempul, yakni paduan musik
tradisional dengan dangdut dengan instrumen utama kendang dan kempul. Tahun
1998-2000, seniman Banyuwangi, Catur Arum, mengawali genre musik hibrid
banyuwangian. Disebut hibrid karena musik yang digunakan masih bernuansa
tradisional, yakni mengusung patrol tetapi diwarnai nuansa blues, reggae, pop,
hingga rock dengan lirik yang tetap banyuwangian.
Belakangan, saat industri musik ramai dengan musik
jedug-jedug ala disko, kreativitas masyarakat Using juga tak berhenti. Music
koplo masuk dan berakulturasi dengan budaya Banyuwangi menjadi koplo
banyuwangian. Alat musiknya modern, tetapi tetap menggunakan bahasa Using.
Industri musik pun terus tumbuh dan bertahan di
Banyuwangi. Tak peduli Industri musik nasional atau internasional sedang lesu
atau bergairah, seniman Banyuwangi tetap mendapatkan pasarnya di kawasan ini.
Studio musik rumahan, artis-artis baru, hingga lagu-lagu anyar bermunculan tiap
bulan.
Joni Laro’s, pemilik studio rekaman Laro’s,
mengatakan, dalam sebulan bisa 4-5 artis baru muncul untuk rekaman. Di pasaran
yang wilayahnya tergolong sempit seperti Banyuwangi, setiap bulan hampir selalu
ada 10 album baru kompilasi yang beredar.
Bagi musikus, langgengnya musik lokal membawa
kegairahan ekonomi. Di Banyuwangi, artis baru biasanya dibayar Rp 1 juta-Rp 2
juta untuk menyanyikan satu lagu di album kompilasi. Adapun artis senior bisa
memproduksi album sendiri dan bayarannya bisa Rp 40 juta.
Penghasilan para penyanyi tak hanya dari rekaman.
Artis biasa mendapat tanggapan di berbagai acara mulai dari hajatan sampai
bisnis hiburan dengan bayaran yang bervariasi Rp 2 juta-Rp 20 juta. Mema Saskia
(23), artis muda dari Banyuwangi, bisa dibilang laris manis menerima undangan
menyanyi. Dalam satu bulan, ia bisa menerima tawaran manggung lebih dari 20
kali, termasuk saat musim panen, musim hajatan pernikahan, dan musim liburan.
Candra Bayu, penyanyi papan atas Banyuwangi,
bahkan benar-benar bisa mengandalkan hidup dari bernyanyi. Mulai menyanyi sejak
2006, Candra sudah bisa membeli rumah, mobil baru, dan menghidupi keluarganya
dengan layak.
Rezeki juga mengalir ke para pemusik, pencipta
lagu, hingga pemilik studio rekaman. Pencipta lagu seperti Andang CY bisa
menerima royalti berkali-kali dari lagunya yang sukses. Lagu ”Umbul-umbul
Belambangan” yang sudah menjadi maskot lagu daerah Banyuwangi bahkan sudah
lebih dari 10 kali direkam ulang. Andang, yang dulunya guru SD, mengakui,
pencipta lagu berbeda dengan penyanyi. Lagu ciptaannya biasanya hanya dinilai
di bawah Rp 1 juta. Jika lagunya populer, ia bisa berkali-kali menerima
royalti.
Contoh lainnya, Adistya Mayasari. Album Kangen, hasil kolaborasinya dengan
Rogojampi Orkestra Lare Asli Banyuwangi (Rollas), yang diluncurkan pada 2006,
meledak di pasar. Album yang diproduksi Sandi Record, Banyuwangi, itu terjual
lebih dari 100 ribu kopi.
Berkat prestasi itu , nama penyanyi berkulit
kuning langsat ini kian berkibar. Pamornya naik dan membawanya menjadi penyanyi
papan atas Banyuwangi. Sejak itu Adis, begitu sapaan akrabnya, kebanjiran
undangan pentas dari berbagai tempat. "Dalam satu bulan jadwal selalu
penuh,” ujarnya.
Selain sebagai penyanyi, 10 lagu dalam album itu
adalah hasil ciptaannya. Bersama sang suami, Eko BC, lagu-lagu berbahasa Using
(bahasa daerah Banyuwangi) itu dia buat selama hampir setahun. Selain sebagai
penyanyi, Adis kini semakin mantap menjadi seorang pencipta lagu.
Meskipun penjualan albumnya meledak, Adis tak
menikmati royalti dari keberhasilannya itu selain honor rekaman dan mencipta
lagu. Belum adanya sistem royalti di industri rekaman Banyuwangi, diakuinya
sangat merugikan posisi penyanyi dan pencipta lagu. "Anggap saja rejeki si
produser," katanya santai.
Perempuan kelahiran Banyuwangi 26 tahun silam ini,
sedari kecil memang hobi menyanyi. Kisahnya masuk dapur rekaman dimulai sekitar
tahun 2001. Saat itu Adis, yang masih duduk di kelas satu SMA, mengikuti salah
satu lomba menyanyi lagu daerah tingkat kabupaten dan menyabet juara dua.
Ternyata event itu dihadiri sejumlah produser lokal.
Setelah event itu, produser Aneka Safari Record
meminangnya mengisi album bertajuk Angger-angger. Proses rekaman masih
dilakukan di Surabaya. Setahun berikutnya, Adis diajak berkolaborasi dengan
grup Patrol Orkestra Banyuwangi (POB), sebuah grup musik yang memadukan musik
tradisional patrol dengan elektrik. Melalui lagunya Semebyar dalam album itu
nama Adis mulai meramaikan musik Banyuwangi.
Kini, setelah 10 tahun berkarir, Adis sudah
memiliki 6 album. Lima puluhan lagu hasil ciptaannya juga telah laku di
pasaran. Perempuan setinggi 160 centimeter ini mengenang, dulunya proses masuk
dapur rekaman tidak semudah sekarang. Dia harus menjalani sekian seleksi untuk
bisa lolos menyanyikan sebuah lagu.
Di tengah gempuran aliran musik modern dan
munculnya penyanyi-penyanyi baru, Adis memang dikenal sebagai penyanyi yang
kukuh mempertahankan musik etnik tradisional yang cenderung mellow
(melankolis). “Pasar sudah terlanjur membentuk image saya sebagai penyanyi
mellow. Saya ingin mempertahankan jatidiri itu," kata lulusan fakultas
ilmu sosial dan politik dari sebuah universitas di Banyuwangi ini.
Konsekuensinya, undangan pentas bagi Adis tak lagi
seramai dulu. Untuk mensiasati sepinya pasar itu, kini dia lebih banyak menjual
master ke produser. Master ini dia produksi sendiri, mulai penciptaan lagu
hingga aransemen musik. "Biaya produksinya tidak terlalu banyak, karena
saya sendiri yang menciptakan dan menyanyi," cerita anak pertama pasangan
Asmawi dan Sumiati ini.
Sayangnya dia tak mau blakblakan soal honor. Dia
hanya menyebut, honor rekaman awalnya hanya Rp 800 ribu kemudian terus bergerak
hingga angka di atas Rp 1,5 juta per lagu. "Dari honor nyanyi alhamdulilah
bisa beli beberapa tanah," katanya malu-malu.
Namun, industri musik lokal bukan tanpa persoalan.
Sejatinya, musik lokal tertumpu pada kualitas dan orisinalitas, bukan pasar
semata. Faktanya, sebagian pemusik cenderung berkarya minimalis, larut dalam
selera pasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar