Tahun lalu, dia juga dipercaya oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Banyuwangi untuk melatih 24 remaja menari gandrung. Upaya Temu
ternyata tidak sia-sia. Setidaknya, satu dari 24 muridnya itu kini menjadi
penari gandrung profesional.ga
Selain tubuh gemulai, Temu dianugerahi suara emas yang tidak
dimiliki gandrung lain. Melengking tinggi dengan cengkok Using khas. Ia juga
satu-satunya yang mampu mengkolaborasikan suara gending gandrung dengan lagu
Banyuwangi modern. Para peneliti, menyebut suara gandrung Temu, adalah sebuah
eksotisme timur.
Dia mempertahankan pakem Gandrung di tengah bermunculannya
penari Gandrung lain yang identik sebagai hiburan para pemabuk. Meski tak lulus
Sekolah Rakyat, tapi ia tahu betul bagaimana menjaga dan merawat eksistensi
Gandrung di tengah gempuran budaya modern.
Namun Temu tak bisa seratus persen mengandalkan penghasilan
dari upah manggung. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ia memilih
bertani. Tak hanya itu, karena hasil panen tidak mampu digunakan menutup
seluruh kebutuhan hidupnya, Temu juga beternak ayam kampung.
Gandrung merupakan salah satu kesenian khas dari Banyuwangi.
Di awal kemunculannya, sekitar tahun 1900-an, penari gandrung adalah laki-laki.
Gandrung dengan gending-gendingnya, dimainkan sebagai bentuk perlawanan
masyarakat Banyuwangi terhadap kolonialisme bangsa barat. Gandrung dengan
penari perempuan baru muncul pada 1895, setelah Islam masuk dan melarang
laki-laki menjadi penari.
Ada beberapa penari perempuan dengan pakaian khas yang akan
menari dan menyanyi diringi dengan 5 sampai 7 penabuh gending laki-laki. Mereka
juga akan menari bersama-sama para tamu dan juga ada tradisi “nyawer” di antara
penari Gandrung dan para tamu. Gandrung biasanya tampil di hajatan seperti
sunatan dan perkawinan.
Sebagai seorang maestro, Temu mengawali karir di kelompok
kesenian Gandrung Sopo Ngiro yang dirintis sejak tahun 1980-an. Dia lahir di
Dusun Kedaleman Desa Kemiren yang terkenal sebagai basis seni Banyuwangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar