Upaya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk terus
menggenjot investasi di daerahnya, mulai membuahkan hasil. Kabupaten di ujung
timur Pulau Jawa yang kaya sumber daya alam ini engalamai peningkatan nilai
investasi dari tahun 2012 sekitar 20 persen, dari Rp 5 triliun menjadi Rp 5,5
triliun hingga Rp 6 triliun.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas di Surabaya,
Selasa (9/4/2013), mengatakan, investasi di Banyuwangi semakin bergairah, baik
untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) maupun usaha besar. Pada 2012,
Pemkab Banyuwangi mengeluarkan 1.335 izin usaha untuk industri skala kecil dan
menengah (investasi nonfasilitas) dengan nilai investasi Rp 100 juta sampai Rp
5 miliar.
Dari 1.335 unit usaha baru tersebut, nilai
investasinya mencapai Rp 441 miliar. Angka ini meningkat dari investasi nonfasilitas
tahun 2011 sebesar Rp 350 miliar.
Adapun investasi untuk industri besar berkategori
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang masuk dalam skema fasilitas pemerintah
pada tahun 2012 mencapai Rp 645 miliar. Sementara PMA mencaapai sekitar Rp 82
miliar dari sejumlah sektor industri.
"Peningkatan investasi menunjukkan
kepercayaan dunia usaha yang semakin besar untuk menanamkan modal di
Banyuwangi," katanya.
Investasi besar yang terbaru adalah pengembangan
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di kawasan Ijen berkapasitas 2 x 55
Megawatt (MW), yang diprediksi akan beroperasi pada 2016 mendatang. Setelah
beroperasi, listrik akan dialirkan ke sistem Gardu Induk Banyuwangi, sehingga
dengan sendirinya menjamin pasokan energi bagi keperluan industri. Total dana
yang akan dikeluarkan investor untuk mengembangkan PLTP tersebut mencapai Rp
3,8 triliun.
"Kami akan memberi karpet merah kepada
investor yang ingin masuk ke Banyuwangi untuk berkembang dan tumbuh bersama,
sebab kehadiran investor akan membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan taraf
hidup sosial-ekonomi masyarakat Banyuwangi," jelas Anas.
Menurut dia, ada tujuh alasan untuk menanam modal
di Banyuwangi yakni :
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat.
Pada 2011, ekonomi Banyuwangi tumbuh 7,02%, lalu terkerek ke level 7,18% pada
2012. Level pertumbuhan ini berada di atas rata-rata pertumbuhan nasional yang
pada 2012 sebesar 6,2%.
Kedua, kondusivitas iklim perbankan yang
menunjukkan geliat nyata perekonomian lokal di Banyuwangi. Data Bank Indonesia
(BI) menyebutkan, pada 2012, simpanan masyarakat (dana pihak ketiga/DPK) di
perbankan Banyuwangi meningkat sekitar 23,5% menjadi Rp 4,2 triliun. Tingkat
pertumbuhan simpanan masyarakat di Banyuwangi melampaui pertumbuhan rata-rata
seluruh Jatim yang hanya 16%. Untuk penyaluran kredit meningkat sekitar 18,5%
menjadi Rp 5,7 triliun pada 2012, juga lebih tinggi dari sejumlah
kota/kabupaten lain di Jatim.
Ketiga, Banyuwangi mempunyai keunggulan lokasional
(locational advantage) berupa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, inflasi
terkelola, SDM memadai, jalur dan akses yang mudah, serta sumberdaya alam
melimpah. ”Potensi komoditas hulu kami terbentang dari sektor pertanian,
termasuk perkebunan, hingga sektor energi dan pertambangan,” ujar Anas.
Keempat, pembangunan infrastruktur yang masif,
antara lain, diwujudkan dalam pengembangan Bandara Blimbingsari,
pembangunan/perbaikan jalan sepanjang 300 kilometer per tahun, hingga
revitalisasi Pelabuhan Tanjungwangi. Menurut Anas, infrastruktur menjadi kunci
pembangunan, terutama untuk memangkas ekonomi biaya tinggi dan mengungkit
timbulnya sektor ekonomi baru.
Dia mencontohkan kinerja ekonomi China, di mana
dengan pembangunan infrastruktur luar biasa, sepanjang 1970 sampai 1999 ekonomi
China tumbuh rata-rata 7,5 per tahun dan mampu mencapai lebih dari 10 persen
per tahun selama kurun waktu pasca-1999, meski setahun ini mulai melandai
karena krisis global. ”Pengalaman China tersebut memberi pesan pentingnya
desain kebijakan ekonomi yang mampu mendorong infrastruktur fisik untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” imbuh Anas.
Selain Bandara, keberadaan Pelabuhan Tanjungwangi
sangat penting. Pelabuhan tersebut bisa menjadi tumpuan di kawasan timur Pulau
Jawa di tengah kondisi Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya yang sudah kelebihan
kapasitas. ”Keberadaan Pelabuhan Tanjungwangi yang representatif akan membuat
investor nyaman, karena ada jaminan kelancaran arus distribusi, baik untuk
pasokan bahan baku maupun barang jadi,” jelas Anas.
Adapun faktor pendorong kelima adalah penyiapan
SDM untuk menunjang industrialisasi. Di Banyuwangi telah berdiri Politeknik
Negeri Banyuwangi dengan sejumlah jurusan, seperti Teknik Sipil, Teknik Mesin,
dan Informatika. Pemkab Banyuwangi terus mengembangkan SMK-SMK unggulan;
pemberian beasiswa untuk mahasiswa dalam program ”Banyuwangi Cerdas”. ”SDM di
Banyuwangi terus meningkat secara kualitas sehingga bisa menunjang pengembangan
dunia usaha.”
Keenam, standardisasi regulasi dan perizinan
investasi. Banyuwangi sudah mempunyai Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT)
yang modern, sehingga memudahkan investor untuk menanamkan modalnya di
Banyuwangi. Hal ini membuktikan bahwa Pemkab Banyuwangi adalah pemerintah
daerah yang probisnis.
Ketujuh, Banyuwangi telah menyiapkan 2.000 hektare
kawasan industri terpadu yang akan menjadi sentra industri baru di kawasan
timur Pulau Jawa. Keberadaan kawasan industri yang representatif di Banyuwangi
memungkinkan investor membangun basis produksi dan distribusi baru guna
membidik pasar Indonesia Timur yang sangat luas. ”Jadi, berinvestasi di
Banyuwangi juga sekaligus untuk membidik pasar yang lebih luas dan terbuka
lebar di Indonesia Timur, dengan dukungan lengkap mulai dari aturan yang
probisnis, SDM handal, hingga infrastruktur pelabuhan yang memadai,” pungkas
Anas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar