KONGRES BUDAYA BANYUWANGI DIBUKA

Kongres Budaya Banyuwangi (KBB) kembali digelar. Kali ini kongres budaya ke-2 tersebut diselenggarakan di Desa Wisata Using, Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, dengan mengangkat isu multikulturalisme.
Acara itu menghadirkan dua narasumber, yakni Achmad Habib dari Universitas Muhammadiyah Malang, dan Akhudiat, penulis buku Kampung-kampung Surabaya.

 Acara yang dihadiri oleh para budayawan dan pelaku adat  yang ada di Banyuwangi  itu dibuka langsung oleh Bupati Abdullah Azwar Anas.
Menurut Bupati, kongres budaya telah memberikan input yang besar bagi kebijakan pemerintah daerah. Bupati mencontohkan, hasil rekomendasi kongres budaya Banyuwangi tahun lalu, beberapa menjadi kebijakan baru pemkab dan telah direalisasikan.

 “Salah satunya, dulu kongres meminta agar pemkab memfasilitasi aktualisasi budaya, sekarang alhamdulillah sudah rutin kita lakukan di taman Blambangan,” tutur Bupati.

Selain itu, imbuh Bupati, dalam waktu dekat juga akan diresmikan museum budaya Banyuwangi yang berlokasi di depan Pemda.

 “Dulu banyak yang protes karena kita belum punya museum, tapi insyaallah Harjaba nanti akan kita resmikan musem Banyuwangi,” kata Bupati.

 Pada kesempatan itu Bupati juga mengajak para budayawan dan pelaku adat di Banyuwangi untuk saling menguatkan kebudayaan yang ada dan tidak terkungkung oleh ego masing-masing.  Tujuannya agar image dan kondusifitas daerah terus terjaga.

 “Dulu pengusaha malu kalau ditanya mau apa ke Banyuwangi karena imagenya untuk mencari suwuk atau penglaris. Tapi sekarang tidak lagi, karna pengusaha ke Banyuwangi untuk investasi,” urai Bupati.

INVENTARISASI ADAT DAN BUDAYA BANYUWANGI
Suasana kongres budaya Banyuwangi
Ketua panitia kongres budaya, Suhailik, menyampaikan jika kongres tersebut sebagai ajang peleburan berbagai budaya yang ada di Banyuwangi. Sebab budaya Banyuwangi terbentuk dari berbagai unsur dan bersifat terbuka.

 “Budaya di Banyuwangi tidak hanya terdiri atas Using saja, melainkan terbentuk dari diaspora berbagai etnis, seperti Jawa, Madura, Cina, Arab, Bugis, dan Melayu," kata Suhailik.

Budaya Banyuwangi terbentuk sejak Kerajaan Blambangan runtuh pada abad ke-18. Diaspora etnis itu akhirnya memunculkan multibudaya yang tetap hidup hingga kini. "Jadi Banyuwangi bisa disebut taman sari Indonesia," kata dia, Rabu, 10 Oktober 2012.

Budaya tradisional di Banyuwangi di antaranya Gandrung, Seblang, Angklung, Kebo-keboan, Barong, Mocoan, Kuntulan, dan Damarwulan.

Dalam Kongres Budaya 2012, para budayawan, seniman, dan peneliti, serta masyarakat adat akan menginventarisasi adat dan nilai budaya Banyuwangi. Nilai-nilai itu nantinya diharapkan bisa diangkat dan didukung untuk diterapkan kembali dalam kehidupan sehari-hari. "Nilai-nilai itu penting untuk menjadi tameng persoalan modern," katanya.

Suhailik mengatakan, rekomendasi-rekomendasi dalam kongres ini akan menjadi pijakan pemerintah Banyuwangi dalam membuat kebijakan yang dapat mendukung pelestarian budaya daerah.

Selain itu, hasil kongres akan dibukukan sehingga menjadi karya yang ditulis orang Banyuwangi sendiri. "Selama ini, budaya Banyuwangi lebih banyak ditulis oleh orang luar," kata dia.


Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, mengatakan, saat ini banyak budaya daerah yang menghilang di masyarakat akibat globalisasi. Seperti tradisi Gredoan, yakni tradisi mencari jodoh dengan berpantun. "Tapi, sekarang karena ada handphone, cukuplah berkenalan lewat hp," kata dia.

Hilangnya budaya Banyuwangi tersebut, kata dia, akibat kebijakan pemerintah Banyuwangi yang tidak melakukan pendekatan dengan budaya.

Kongres Budaya Banyuwangi 2012 merupakan kongres kedua. Tahun lalu, kongres ini hanya melibatkan masyarakat adat Using atau suku asli Banyuwangi. Kini seluruh perwakilan suku yang ada di Banyuwangi, seperti Bugis, Madura, Mandar, Jawa hingga Melayu turut dilibatkan.


sumber :  Tribunnews, Kompas, Tempo





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bebas bayar, pembayaran mudah dan cepat, transaksi online, pembayaran tagihan dan tiket, transfer dana online
Adbox

@templatesyard