Dua makanan itu berada di gerai 31. Pemiliknya adalah wanita setengah baya bernama Pamorsih Tuhu Mitayani, 34 tahun. Saya langsung memesan dua menu itu sekaligus sebagai santapan makan siang, Selasa, 5 Juni 2012.
Rasa penasaran akan "santet" dan "pelet" akhirnya buyar ketika Bu Pamor mengantarkan makanan itu di meja saya. Sego santet artinya nasi dengan ayam goreng pedas, sambal tiga warna, lalapan daun singkong serta kerupuk nasi. Sedangkan sego pelet hidangannya hampir sejenis. Hanya, memakai olahan ayam bakar berkuah santan dan satu jenis sambal.
Rasa penasaran berikutnya tentu saja adalah rasa. Secara bergiliran saya mencoba makanan itu satu per satu. Sego santet punya rasa gurih, tapi pedas ayamnya membakar di lidah. Selain karena bumbunya, pedas berasal dari sambal tiga warna. Tiga jenis sambal itu adalah sambal hitam yang terbuat dari keluwak, sambal tomat terasi serta sambal dari cabai hijau.
Menurut Bu Pamor, pedas ayam santet karena memakai setengah kilogram cabai rawit merah dalam satu resep. "Makanan ini khusus bagi penyuka rasa pedas," dia bertutur. Sedangkan ayam pelet rasanya tidak terlalu pedas karena cabai rawitnya hanya seperempat kilo. Namun kuahnya cukup gurih dan menyegarkan.
Baik ayam santet maupun pelet sama-sama menggunakan ayam kampung. Namun dagingnya tetap empuk di lidah. Hal itu, menurut Pamorsih, karena ayam terlebih dahulu harus dipanaskan di atas api yang nyalanya kecil selama tiga jam. "Setelah itu ayam digoreng atau dibakar," kata dia.
Menurut perempuan yang membuka usaha catering ini menu tersebut merupakan kreasinya sendiri karena olahan ayam masih cukup diminati di Banyuwangi. Nama santet dan pelet pun dipilih karena tak lepas dari filosofinya di masyarakat.
Menurut dia, ada anggapan yang salah tentang santet Banyuwangi. Santet dan pelet sebenarnya tidak berbahaya, melainkan membantu suami-istri yang ingin rujuk atau membuat hati seseorang lebih menyenangi pasangannya. Dan, kebanyakan mereka yang memakai santet akan ketagihan dan datang lagi. "Saya berharap mereka yang mencicipi masakan saya mau datang beli lagi, ha... ha... ha...," katanya sambil terbahak.
Triknya memang jitu. Meski baru buka tiga bulan, pembeli nasi santet dan pelet tak pernah sepi. Rata-rata setiap hari Pamorsih harus memasak 12 kilogram ayam. Kedua menu itu pun dibanderol Rp 13 ribu per porsi, harga yang ramah di kantong.
Nama makanan memang jadi salah satu daya tarik bagi pembeli. Namun rasa tetap jadi patokan nomor satu. Bila nama menarik, dan rasanya nikmat, dijamin pembeli akan terus berdatangan.
sumber : tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar